Elevenia

Monday, 10 August 2015

Jadi Seorang Petani, Kenapa Malu?


Ini merupakan pengalaman dan terjadi di daerah saya sendiri, tepatnya daerah desa Sumurbandung, kecamatan Cipatat, kabupaten Bandung barat. Daerah tersebut masih asri karena masih banyak hijau dedaunan dan udaranya juga masih segar. Kebetulan saya lahir di desa tersebut (malah curhat).


Ada hal menarik di daerah saya ini, yaitu masih banyak petani –petani yang sudah lanjut usia dan semangat kerja di ladang. Akan tetapi generasi mudanya malah sedikit yang bertani, mereka banyak berprofesi menjadi borongan proyek, ngojeg, dan kerja di pabrik. Sebenarnya apa yang salah sih dengan bertani? Kalau menurut saya banyak. Hha. Kenapa saya bilang seperti itu, karena orang-orang atau khususnya generasi muda melihat para petani hanya dari fisiknya. Generasi muda melihat bahwa para petani rumahnya kurang bagus, bajunya tidak menarik, dan intinya tidak menguntungkan lah.


Jadi yang saya maksud salah adalah salah memandang sosok petaninya, kita jangan memandang hanya dari satu sisi atau hanya beberapa orang saja. Terbukti bahwa tidak sedikit orang yang rumahnya mewah dengan bertani. Maka dari itu disini saya akan sedikit memaparkan rahasia dan pandangan yang benar tentang bertani.


Pertama, seperti halnya di industri dalam bertani juga ada beberapa level jabatan. Adapun jabatannya adalah seorang pemilik lahan, mandor / asisten pemilik lahan (sebenarnya tidak ada juga tidak apa-apa), dan yang terakhir yaitu buruh taninya. Orang-orang berpandangan pada buruh taninya sehingga banyak yang mengasumsikan bla bla bla seperti yang saya uraikan di atas, karena kan yang namanya pegawai pasti lebih banyak dari atasanya. Makanya bagi generasi muda yang punya lahan (warisan) jangan terbawa nafsu untuk menjualnya. Hhe.


Kedua, banyak kesalahan pada saat penjualan. Ada yang tahu bandar? Atau pengepul gitu? Pasti semuanya tahu. Dibandingkan petani, bandar keuntungannya bisa lebih tinggi loh. Tahu kenapa begitu? Karena bandar yang lebih tau pasar. Nah yang salah disini adalah petani selalu memjual ke bandar, coba deh kalau menjual langsung ke pasar mungkin keuntungannya bisa lebih. Pada dasarnya dengan adanya bandar dapat mempermudah penjualan namun apa jadinya jika bandar membeli kepada para petani dengan harga seminimal mungkin dan menjual di pasar dengan harga yang cukup tinggi, kasihan dong petaninya yang dari bobot pekerjaan bisa di bilang lebih berat kan. Makanya para petani harusnya bisa lebih mandiri dalam pemasarannya.


Ketiga, belum melek teknologi. Kebanyakan dari para petani malah mengesampingkan teknologi (ini mh ngomongin yang daerah saya). Yaps, berbeda dengan pekerja pabrik yang mainannya smartphone dan para petani mainannya golok, cangkul dll. Sebenarnya maksud saya bukan berarti petani harus bawa smartphone tapi lebih kepada informasi dari smartphonenya. Misalkan jika petani tahu informasi yang sedang menguntungkan tanaman apa atau cara penanganan kebun terbaru, bahkan petani juga bisa share pengalamannya dengan komunitas petani lain, dan masih banyak lagideh keuntungannya.

Keempat, ini yang paling menguntungkan untuk para petani yang masih memiliki lahan. Bisa dibilang kedepannya industri akan semakin maju, lahan hijau akan semakin berkurang, dan bahkan pertumbuhan penduduk yang tinggi memerlukan lahan untuk perumahan-perumahan yang baru. Akan semakin sedikit orang yang bertani, hal ini akan berimbas pada barang-barang hasil panen akan langka dan mahal. Kesempatan untuk petani menjual hasil panennya lebih menguntungkan.

Sekian uraian yang dapat saya utarakan,....

No comments:

Post a Comment

Iklan

pasang iklan

Subscribe